Menjaga Nilai Normatif Islam Melalui Ijmak Sebagai Tasyri’ Ke-3

FOSGAMA Mesir

Menjaga Nilai Normatif Islam Melalui Ijmak Sebagai Tasyri’ Ke-3

FOSGAMA Mesir Hukum agama Islam yang bersumber pada kedua sumber tekstual; Al-Quran dan Tradisi nabi (sunnnah). Adapun konsensus (ijmak) dan analogi (qiyas) dapat juga sumber itu merupakan ringkasan dari kedua sumber tekstual di atas, karena pada hakikatnya semua upaya untuk mencapai konsensus dan melakukan analogi hanyalah hasil subordinatif bagi kedua sumber tekstual itu. Proses terjadinya reaktualisasi ajaran Islam yang terjadi secara alami di hadapan perubahan yang terus terjadi di hadapan masyarakat dengan tanpa menghilangkan nilai-nilai normatif Islam sangat diperlukan dalam menampung kebutuhan hidup yang terus berkembang.

Kenyataan terjadinya proses reaktualisasi dalam bentuk penafsiran ulang dalam ajaran agama itu tentu membawa implikasi tersendiri bagisumbertasyri’ ketiga, yaitu ijmak, atau konsensus. Sumber yang awal mula munculnya dari bentuk kesepakan para sahabat nabi di Madinah. Kemudian dalam perkembangan selanjutnya ijmak menjadi kesepakatan para ahli hukum agama (fuqoha) atas suatu hal, yang berlaku badi semua kaum muslimin dan tidak terbatas oleh waktu. Dan sekali tercapai suatu keputusan melalui ijmak, menjadi praktis tidak mungkin lagi dilakukan penafsiran ulang yang menghasilkan ketentuan baru.

Namun di balik itu, proses penafsiran ulang, dan sebagai konsekuensinya perubahan ketentuan, hal-hal yang telah diterima sebagai konsensus itu menunjukan vitalitas nilai-nilai normatif Islam. Memang ada usaha terus-menerus untuk menembus dinding konsensus itu, antara lain melalui perluasan wawasan ijmak itu sendiri. Dimasukkanlah sejumlah pertimbangan, guna memungkinkan perluasan lingkup ijmak. Memang tidak mudah dilakukan perubahan atasnya. Tetapi tidak menutup kemungkinan juga.

Konsep ijmak ini merupakan konsep yang cukup menarik, dimana konsep ini muncul tatkala nabi wafat yang secara otomatis juga terputusnya wahyu. Dengan demikian, ketika menghadapi persoalan-persoalan baru, terutama masalah pelik, dibutuhkan solusi dan jalan keluar baru. Maka dari itu, sebagaimana disebutkan oleh Imam Kamal bin al-Hammam: “ijmak merupakann dalil qath’i bagi umat, tidak menurut sebagian kaum khowarij dan syi’ah. Dan orang yang ragu akan dianggapnya ijmak sebagai hujjah sama halnya ragu terhadap hal-hal yang dhoruri

Namun demikian, terlepas dari keistemawan-keistimewaan ijmak yang disebutkan, pada perjalanannya mengalami beberapa perdebatan dari masa ke masa mengingat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Mulai dari mungkinkan melakukan reaktualisasi ijmak, bisakah ijmak terjadi di dunia nyata, bagaimana cara mereka bersepakat melihat sarana pra-sarana yang serba kurang tempo dulu, serta bagaimana fatwa ijmak itu sampai kepada kita.

Di sini penulis akan mengurai bagaimana konsensus (ijmak) –dibalik pertentangan dan simpang siur ulama mengakui kehujjahannya– bisa menjadi sumber tasyri’ ketiga yang abadi setelah Al-Quran dan sunnah. Ijmak juga sudah mendapat kedudukan khusus dari firman Allah (Al-Quran) dan tradisi nabi (as-sunnah). Sebab, ada sebagian orang yang mengatakan bahwa kesepakatan seluruh umat manusia di semua masa terhadap satu permasalahan adalah sesuatu yang mustahil.

Menurut Imam al-Ghazali –rahimahullohu ta’ala– dalam mendefinisikan ijmak beliau berkata: “ijmak yaitu kesepakatan umat Muhammad Saw. atas suatu persoalan keagamaan”. Pengamatan selintas atas pengertian ijmak. menurut al-Ghazali memberikan kesan bahwa ijmak tak mungkin terjadi. Sebab beliau mensyaratkan kesepakatan umat Islam mencakup seluruh orang yang beriman kepada Rasulullah Saw. baik yang sudah meninggal dan yang belum lahir, sejak ia diutus sampai hari kiamat bagi penerima ijmak.

Dari segi lain, di dalam umat ini ada orang yang tak mengerti agama (fiqh) sedikit pun. Bahkan mereka ini mayoritas dalam setiap kurun waktu, maka apakah siapa saja dari mereka ini punya pendapat? Apakah untuk terjadinya ijmak, orang-orang itu wajib menyatakan pendapat mereka?

Untuk kritikan nomer dua, beliau menerima dan langsung menjawab bahwa ijmak dalam kategori ini terbagi menjadi dua: pertama, ijmak mencakup semua umat baik yang alim ataupun tidak, seperti wajibnya sholat, zakat, dan puasa. kedua, kesepakatan tentang ijmak semata-mata bagi ahlul ilmi, ini seperti perincian hukum sholat dan lainnya. Dan apa yang disepakati oleh ahli ilmu itu tidak boleh tidak harus diterima oleh orang awam.

Sedangkan mayoritas jumhur berpendapat dalam mendefinisikan ijmak: yaitu kesepakatan mujtahid umat Muhammad Saw. setelah wafatnya, di suatu waktu, atas hukum agama di dalam suatu kejadian (waaqi’ah). Dalam definisi ini kita menemukan bahwa konsensus (ijmak) terjadi hanya setelah wafatnya rasul. Dalam definisi ini juga ada pembatasan pada sumber ijmak, yaitu bahwa ia merupakan kesepakatan Halli wal ‘Aqd, yaitu ahli ijtihad dari ulama umat. Karena itu, persetujuan ataupun penolakan orang-orang selain mereka tidak dianggap.

Beberapa landasan dari Al-Qur’an dan as-sunnah atas kehujjahan ijmak sebagai dalil syar’i mengindikasikan ijmak sebagai hujjah qath’iyyah yang wajib diikuti dan haram diselisihi. Orang-orang yang menyelisihi ijmak ini berkonsekuensi kepada kekafiran, kesesatan dan kebid’ahan yang tercela. Hal ini karena pengingkaran mereka terhadap ijmak bisa menuju kepada pengingkaran syariat, dan siapa yang mengingkari syariat maka dia telah kafir. Naudzu billah.

Namun demikian, ada beberapa ulama yang menolak kehujjahan ijmak, seperti an-Naddham, dan sebagian ulama syi’ah mengklaim bahwa ijmak dengan pengertian yang disepakati jumhur ulama di atas itu mustahil dan tidak akan terjadi. Mereka memberikan beberapa alasan berikut: pertama, rukun utama terwujudnya ijmak adalah adanya kesepakatan dari semua mujtahid dalam suatu masa, mengumpulkan mereka dalam satu majelis adalah hal yang tidak mudah. Mengingat sarana pra-sarana komunikasi dan transportasi zaman tersebut masih belum secanggih saat ini.

Kedua, dalil yang digunakan sebagai landasan ijmak bisa berupa dalil qath’i atau dhanni dilalah. Jika yang digunakan dalil qath’i tanpa ada ijmak pun kita bisa berdalil dengannya. Adapun Ketika dalil dhanny dilalah, maka secara akan tidak mungkin terjadinya kesepakatan. Hal ini karena ia bersifat multi tafsir yang menjadi salah satu sebab terjadinya perbedaan pendapat mujtahid. Sehingga berdasarkan alasan demikian mereka mengingkari adanya konsensus (ijmak).

Mayoritas ulama dalam menjawab dalil-dalil yang dikemukakan di atas menggunakan teori sebagai berikut: pertama, ragu akan ijmak karena keraguan mungkinnya seluruh peserta musyawarah berkumpul itu sama halnya ragu akan sesuatu yang sudah terjadi. Bahwa kenyataan di lapangan ijmak memang dipraktekkan oleh para sahabat dan tabiin. Kedua, jikadalil qath’i yang dijadikan sebagai landasan ijmak itu akan lebih kuat dan menghilangkan kemungkinan khilaf. Adapun dalil dhonni tidak bisa diterima bahwa tidak ada kesepakatan sama sekali pada dalil dhanni, karena terkadang ia memberikan pemahaman yang jelas dan menghilangkan timbulnya pemahaman lain.

Dengan pemaparan di atas, di balik banyaknya ulama yang mempersoalkan ijmak sebagai sumber tasrik ketiga, ada landasan kuat untuk mempertahankannya dan menjadikannya sandaran seiiring maraknya perbedaan pendapat yang ada. Hingga dapat menjaga nilai-nilai normatif Islam yang luhur dengan sumber-sumber syariah-nya yang cemerlang berupa Al-Qur’an, sunnah, dan ijmak.

Namun, meskipun ijmak merupakan mutiara dalam karya-karya fiqih, memungut masalah ijmak yang bertebaran dalam literaur-literatur yang dibuat pedoman (mu’tamad) juga merupakan hal yang penting. Imam Syafii berkata: “masalah yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di siti tidak serta merta di sebut ijmak”. Begitu juga Imam Ahmad bin Hambal yang memperingati tentang pengklaim-man ijmak ini, beliau berkata: “siapa saja yang mengkalim terjadinya ijmak maka dia adalah pembohong

Barang siapa membaca perkataan kedua imam besar itu dengan selintas mungkin mengira beliau bahwa ijmak tidak mungkin terjadi, tapi pemahaman seperti itu terburu-buru. Beliau berdua hanyalah bersikap keras terhadap pernyataan adanya ijmak, dan bagi setiap orang tidak mudah mengklaim adanya ijmak dalam suatu masalah. Kecuali setelah betul-betul memastikan terjadinya ijmak, agar bukan klaim semata.

Demikianlah, sesungguhnya landasan ijmak menurut para ulama merupakan dalil qath’i. Dan itu telah terbukti mulai dari zaman para sahabat dan seterusnya. Hari ini pun tidak menutup kemungkinan akan terjadinya ijmak melihat sarana pra sarana yang sudah berkembang pesat. Seperti yang dituturkan Dr. Wahbah Az-Zuhaili: “Hari ini Ijma’ ini bisa dilakukan dengan cara melakukan muktamar atau pertemuan tingkat tinggi. Pertemuan itu diadakan oleh pemerintah negeri Islam atau organisasi-organisasi fiqih dengan cara memilih perwakilan ahlul halli wal aqdi terkenal yang memenuhi kriteria syar’i sebagai mujtahid, sebagai representasi nyata dari setiap negeri Islam. Pemilihan ini bukan hanya formalitas dan basa-basi saja.

Baca Juga

Tags

Tinggalkan komentar