FOSGAMA Mesir – Termasuk dari peninggalan yang sangat bernilai bagi kaum muslimin ialah metode kritik Hadis (sanad dan matan), sebuah metode yang dikembangkan oleh para kritikus Hadis guna menjaga keabsahan informasi yang disampaikan Rasulullah SAW. Sejak awal kehadirannya, para kritikus Hadis sukses menarik perhatian para pembesar ahli kitab. Mereka sangat terpukau dengan metode kritis yang dikembangkan oleh para kritikus Hadis.
Namun, seiring berkembangnya zaman, koneksi antar-umat semakin terbuka yang melahirkan benturan akan budaya, pengetahuan serta sudut pandang yang beragam antar-umat. Akibatnya, sesuatu yang dianggap final dalam ranah agama kini mulai digugat, tak terkecuali metode kritik Hadis. Problem yang sering dipermasalahkan adalah aspek historis dan autentisitas sebuah Hadis. Tidak sedikit ilmuan modern dari Barat yang melontarkan syubhat pada metode yang dibanggakan oleh umat Islam selama berabad-abad ini.
Pada fase awal kesarjanaan Barat, mereka menunjukkan kepercayaan yang cukup tinggi terhadap literatur Hadis dan riwayat-riwayat tentang nabi dan generasi Islam awal. Tetapi sejak paruh kedua abad kesembilan belas, mulai muncul skeptisisme tentang autentisitas sumber tersebut. Bahkan sejak saat itu perdebatan tentang isu tersebut dalam kesarjanaan Barat didominasi oleh kelompok skeptis. Kontribusi kelompok skeptis seperti Ignaz Goldziher, Joseph Schacht, Wansbrough, Patricia Crone, dan yang lain-lain berpengaruh secara dramatis terhadap karya-karya sarjana Barat.
Akan tetapi, tidak semua sarjana Barat dapat digolongkan dalam aliran atau “mazhab“ skeptis. Sarjana seperti Joseph Van Ess, Harald Motzki, Miklos Muranyi, M.J. Kister dan lainnya bereaksi keras terhadap sejumlah premis, kesimpulan dan metodologi para kelompok skeptis. Mereka dapat digolongkan sebagai kelompok non-skeptis. Pertikaian antar-kelompok ini sangat tajam selama dua dekade terakhir.
Kemudian di tengah-tengah pertikaian ini, muncul kelompok yang menyuarakan logika sebagai metode analisis terhadap autentisitas Hadis. Hal ini berindikasi seakan para kritikus Hadis terdahulu tidak menggunakan akalnya di saat mereka mengembangkan metode kritik Hadis. Pasalnya, ihwal para kritikus Hadis sangat bertolak belakang dengan indikasi tersebut.
Visualisasi Para Kritikus Hadis Terdahulu dalam Memvalidasi Sebuah Hadis
Sejak dahulu, para kritikus Hadis sudah menerapkan metode bernalar untuk memvalidasi sebuah Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Hanya saja, metode yang mereka terapkan belum tertulis dengan sistematis. Di sini, penulis ingin memvisualkan secercah pemikiran kritis para kritikus Hadis terdahulu dalam mengembangkan metode kritik Hadis, sebagai bentuk apresiasi kepada mereka atas metode yang kritis dalam memvalidasi Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah
SAW, serta sebagai pengakuan atas keunggulan mereka di dalam berpikir kritis.
Sayidina Abu Bakar al-Siddiq adalah orang pertama yang kritis dalam menerima Hadis Rasulullah SAW. Diriwayatkan Shihab dari Qabisah bahwa seorang nenek datang kepada Abu Bakar menanyakan seputar hukum warisan, lalu beliau tidak menemukan dalil atas pertanyaan nenek tersebut. Kemudian, beliau bertanya kepada para sahabat yang lain perihal itu, kemudian Sayidina al-Mughirah menjawab
dengan Hadis fi’li (perbuatan).
Mendengar jawaban dari al-Mughirah, Abu Bakar tidak lantas langsung menerima. Beliau menayakan kepada para sahabat yang lain akan keabsahan hal tersebut. Lalu, Sayidina Muhammad bin Maslamah bersaksi bahwa beliau menyaksikan langsung perbuatan Rasulullah SAW tersebut. Lalu, Abu Bakar menerima Hadis tersebut sebagai dasar hukum.
Begitu pula dengan Sayidina Umar bin Khattab, beliau sangat kritis dalam periwayatan Hadis. Bahkan, beliau lah yang mewajibkan para muhadditsin untuk memvalidasi dan menganalisis Hadis sebelum menggunakannya sebagai sumber hukum. Pun dengan para sahabat yang lain, mereka tidak menerima mentah-mentah informasi yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Mereka terlebih dahulu
menganalisis keadaan perawinya.
Demikian juga dengan generasi setelah sahabat, mereka sangat berhati-hati untuk memilih dan memilah Hadis yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW. Mereka tidak pernah menjadikan Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang cacat secara metodologis sebagai dalil dan hujah, kecuali ada jalan lain (mutaba’at atau syawahid) sebagai penguat dari riwayat yang lemah. Demikian ini, dilakukan karena mereka juga menggunakan akal saat menganalisis riwayat yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW.
Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya kepada Imam Abdullah ibnu Mubarak: “Sanad adalah bagian dari agama (ini). Kalau bukan dengan sanad, maka siapa saja bisa mengatakan semaunya”. Imam Malik bin Anas (179 H) menitahkan: “Ilmu hendaknya tak didapat dari empat golongan. Pertama, dari orang yang sangat dungu. Kedua, orang yang selalu berkata mengikuti hawa nafsunya. Ketiga, dari orang pembohong. Keempat, seorang guru yang cerdas namun tidak memiliki kapasitas pada disiplin ilmu yang dia ajarkan.” Ismail bin Uwais juga pernah berkata: “Aku mendengar pamanku dari ibu, berkata: Sesungguhnya ilmu ini (sesuai konteks) adalah agama. Maka jelilah dalam memilih dan memilahnya. Aku telah menemui sekitar 70 orang yang meriwayatkan Hadis kepadaku namun aku tidak mengambil riwayatnya. Padahal seandainya mereka semua menjaga baitulmal, mereka akan amanah. Namun aku khawatir akan keabsahannya karena mereka tidak cakap di bidang ini.”
Juga, Abdurrahman bin Abi Hatim pernah bertanya kepada ayahnya mengenai sebuah riwayat Hadis dari al-Auza’i dari al-Zuhri dari Said bin al-Musayyib dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah bersabda. Lalu dengan spontan, ayahnya menyalahkan riwayat tersebut, bahwa al-Auza’i menyalahi riwayat mayoritas perawi lainnya alAuza’i melewatkan satu perawi setelah al-Zuhri, yaitu Ukaimah yang meriwayatkan dari Said bin al-Musayyib dari Abi Hurairah dari Rasulullah SAW.5 Ini adalah gambaran kecil dari sekian metode yang dipakai para kritikus Hadis, yaitu dengan cara mengomparasikan jalan riwayat Hadis dengan riwayat lainnya.
Inilah ihwal para ulama dan kritikus Hadis terdahulu, menganalisis dan memvalidasi informasi yang dinisbatkan kapada Rasulullah SAW. Mereka sangat kritis dan jeli dalam memilah, serta memiliki metode yang tidak dimiliki oleh selain mereka.
Pengaruh Pola Berpikir Para Kritikus Hadis Dalam Membentuk Karakter Ilmuan Muslim
Setelah mengalami fase pertumbuhan yang cukup pesat, para kritikus Hadis mulai membukukan metode mereka. Di antaranya, Ibnu Sa’ad, Yahya bin Ma’in dan lainnya yang memiliki kontribusi besar dalam penulisan ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil (cabang ilmu Hadis), serta al-Bukhari, Ibnu Hibban, Ibnu Adi dan lainnya di ilmu Rijal al-Hadis. Diteruskan dengan cabang-cabang ilmu Hadis lainnya seperti ilmu
Ilal al-Hadis, Mukhtalaf al-Hadis, Nashikh wa Mansukh al- Hadis, dan lainnya.
Dilanjut dengan penyusunan kaidah yang sistematis seperti yang dilakukan Imam Ibnu Salah (643 H) pada kitabnya al-Muqaddimah, al-Nawawi (676 H) di karyanya al-Taqrib wa al-Taysir, al-Iraqi (806 H) di al-Tabsira dan Alfiyah-nya, dan sejawat pada masanya. Mereka sependapat dalam landasan dasar metode kritik Hadis, hanya saja memiliki sedikit perbedaan dalam menerapkan partikel-partikelnya. Tersebab, metode yang mereka gunakan bersifat fitrah, yaitu akal yang kritis, dan metode kritik mereka memiliki hubungan yang korelatif dengan ilmu peninjauan sejarah pada umumnya.
Setidaknya, ada beberapa pola berpikir yang dapat membentuk karakter ilmuan yang menapaki jejak mereka:
1. Pembentukan pola berpikir ilmiah dan tanggung jawab, yang terimplementasikan pada tidak menerima tuduhan atau pengakuan yang tanpa dasar, tidak gegabah dalam menerima informasi, meninggalkan waham dalam peristiwa yang absolut.
2. Menilai perkara dengan jernih dan objektif, jauh dari fanatisme dan kejumudan.
3. Memvalidasi antar-pendapat yang kotradiktif, dengan melakukan komparasi dan analisis yang rasional.
4. Menggabung ilmu dengan perbuatan dan etika. Setelah menerima informasi dengan jeli, para kritikus Hadis mengamalkan esensi dari informasi tersebut.
5. Introspeksi kapasitas diri, untuk selalu mengerti kapan harus berbicara dan diam.
6. Penalaran integrasi aqli dan naqli dalam beristinbat.
Serta banyak lagi yang bisa diambil dari dinamika para kritikus Hadis dalam memvalidasi informasi. Rasanya, implementasi pemikiran mereka sangat urgen kita revitalisasikan di tengah-tengah kehidupan kita, untuk kemudian menjadi pribadi yang kritis dalam menerima informasi, karena sejatinya metode kritik Hadis adalah Mantiq al-Manqul wa Mizan Tashih al-Akhbar (Porosnya ilmu naqal dan dasar pertimbangan analisis informasi).
Namun, revitalisasi pemikiran mereka di tengah-tengah kita bukan hal yang mudah, membutuhkan kedewasaan untuk mengimplementasikannya, mengingat semakin banyaknya persoalan-persoalan yang perlu dijawab, serta semakin terbukanya tantangan-tantangan zaman yang secara tidak langsung berimbas pada langkah implementatifnya. Wallahu A’lam.