FOSGAMA Mesir – Problematika ekonomi masih menjadi tantangan besar bagi negara yang mayoritas penduduknya muslim. Dalam catatan M. Umer Chapra negara yang berpenduduk muslim masih berkutat di permasalahan negara berkembang. Ekonom kontemporer muslim itu menegaskan permasalah utamanya terletak pada tidak seimbangnya ekonomi makro. Adapun diantara penyebabnya adalah depresiasi nilai mata uang yang berkelanjutan, pengangguran, defisit neraca pembayaran yang tinggi, dan sebagainya.
Wirausaha muslim terjun ke lapangan dengan modal berani tanpa edukasi masih masif. Realitanya, pembahasan ilmu tentang ekonomi syariah sendiri dapat dihitung dengan jari. Hal ini akan berdampak pada mental dan karakter seorang wirausaha muslim. Mayoritas mereka takut melakukan sesuatu yang hukumnya diperdebatkan. Padahal, problematika ekonomi sekarang, sering tidak berkesinambungan dengan norma hukum yang sudah ditetapkan oleh para intelektual muslim terdahulu.
Jika melihat terhadap histori Islam, kita akan mendapatkan banyak pembahasan tentang jual-beli (transaksi). Sebagaimana universalitas Islam, rasulullah sangat memperhatikan transaksi yang menjadi kebutuhan primer manusia. Beliau memberikan prinsip agar umatnya terhindar dari unsur yang merugikan dan terjerumus terhadap keharaman. Prinsip ini diutarakan dengan mudah yang meliputi gharar, maisir, riba, dan zalim. Sebagai umat Islam, semestinya sudah mempunyai refleksi tauladan yang ulung. Namun, mengapa krisis ekonomi ini masih menjadi masalah utama negara yang mayoritas Islam?.
Pada era renaisans, seorang ekonom muslim yang dikenal dengan Ibn Khaldun melontarkan beberapa teorinya. Konsep dan analisis ekonominya bisa kita ketahui dalam karya monumental yang dikenal dengan “Muqaddimah ibn Khaldun”. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuwan muslim yang konsisten dalam menghidupkan khazanah intelektual Islam, hingga ke benua biru. Teori yang dipadukan dengan ulasan histori menjadi patokan dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh barat.
Banyak teori ekonomi yang dijabarkan oleh Ibn Khaldun. Namun, pada kesempatan kali
ini, hanya difokuskan kepada kekayaan nasional, tujuan akhirnya adalah kesejahteraan
yang merupakan impian bagi seluruh umat manusia. Bapak ekonom Islam itu menyatakan,
bahwa kesejahteraan terletak pada praktik siklus keuangan publik yang seimbang
(equilibrium) oleh ruang bebas penduduknya sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa
kekayaan aset dan modal suatu negara bukan menjadi faktor utama dalam kemajuan
ekonomi. Bagi Ibnu Khaldun, produktifitas tenaga kerja adalah faktor yang sangat
diperhatikan.
Pendapat Ibn Khaldun di atas menarik untuk dikaji. Karena hal ini bertentangan dengan
mazhab merkantilis yang memusatkan kekayaan hanya pada aset negara seperti emas dan
perak atau usaha tambang lainnya. Mazhab ini berkuasa selama kurang lebih 2 abad dalam
memonopoli sistem perekonomian dunia. Paham ini mendorong untuk memperbesar laju
ekspor dan mempersempit adanya impor dan transaksi domestik. Semua kontrol dan kuasa
secara penuh ada di bawah tangan penguasa. Salah satu negara yang paling gencar
memakai aliran ini adalah Prancis. Tujuan adanya ekspor kekayaan sebuah negara adalah
untuk membeli komoditas jadi seperti alat perang.
Di awal abad 18 kesadaran akan bernegara dan keinginan untuk berdagang bebas pun
tumbuh, sehingga muncul sistem kapitalisme. Masyarakat yang pada mulanya dikekang
untuk mengikuti nafsu seorang penguasa, di era ini sudah bebas dalam bertindak
menentukan arah ekonominya. Kondisi ini juga menjadi titik awal berkembangnya
problematika ekonomi dengan pesat. Ambil contoh berkembangnya dunia perbankan,
hingga munculnya akad-akad baru yang masih menuai akan pro dan kontra.
Di era kontemporer, banyak isu terkait peluncuran kebijakan atas uang digital. Bentuk
pastinya belum bisa dipastikan, namun bisa kita terka nantinya tidak jauh dari konsep
dompet digital. Karena hal ini berkaitan dengan bank, ada sebagian orang yang menolak
menggunakan transaksi digital, karena di bank sendiri terdapat unsur riba. Dari adanya
unsur riba tersebut mereka berusaha untuk menghindarinya. Tujuan negara membuat kebijakan ini untuk menjaga nilai uang. Selanjutnya, jika orang-orang takut untuk melakukan transaksi, maka konsep Ibn Khaldun terkait kekayaan negara perlu direvitalisasi.
Terkait di atas, masih banyak perbedaan ulama tentang hukum transaksi melalui bank.
Karena bank mendapatkan biaya operasional dari bunga, adapun bunga dari bank banyak
diperdebatkan. Untuk mengatasi hal ini, kita bisa dudukkan problematika itu dengan
mengetahui bunga dalam bank terlebih dahulu. Bunga dalam bank bersumber dari
simpanan dan utang. Kita sebagai umat muslim, untuk menjaga stabilitas perekonomian,
bisa mengambil perspektif yang membolehkan adanya bunga dalam bank seperi Syekh Ali
Jum’ah. Pembolehan tersebut bertujuan untuk pengelolaan yang progresif dan keuntungan
yang akan diperoleh kedua belah pihak. Selain itu, sistem bank termasuk dalam
permasalahan kontemporer yang kaidah asalnya diperbolehkan.
Setelah dari sisi mental muslim dibangun, konsep yang diusung oleh Ibn Khaldun bisa kita
buktikan. Namun makna aset negara di era Ibn Khaldun mempunyai pergeseran besar. Pada
awal mulanya hanya berupa emas dan perak, sedangkan sekarang maknanya lebih
komprehensif. Di Indonesia sendiri ada badan independen untuk mengurusinya, yakni
BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Adapun produktifitas dari praktik transaksi yang
terdata di Indonesia masih diambil kuasa oleh UMKM yang mampu menyumbang 61,1%.
Sumbangsih tersebut bisa dikatakan hal yang fantastis dengan pertumbuhan ekonomi pada
Q3 di tahun 2022 mencapai 5,72%.
Arah mekanisme dari sistem ekonomi relevan dengan pendapat Ibn Khaldun sebagaimana
kekuatan ekonomi Indonesia semakin tumbuh. Hal di atas mendorong setiap individu
dalam melakukan transaksi, karena menurutnya Islam memberikan kebebasan dalam
produktifitas jalannya ekonomi. Namun, kebebasan itu bukan secara mutlak seakan tidak
ada campur tangan pemerintah dalam mengontrol perekonomian sebuah negara. Justru, di
sini diibaratkan oleh Ibn Khaldun bahwa negara sebagai produsen atau penyedia sehingga
nantinya transaksi semakin mudah. Timbal baliknya ke sebuah negara dapat diketahui di
teori pajak yang dikemukakan oleh Ibn Khaldun.
Kebebasan sebuah transaksi juga tidak mutlak sebagaimana kaum kapitalis. Negara
sebagai produsen kembali hadir untuk mengatur stabilitas ekonominya. Ibn Khaldun
bermaksud kepada hal yang tidak bertentang dengan syariat. Lebih dari itu, titik tekannya
terdapat pada seluruh pihak, baik individu maupun korporat, senantiasa dalam usaha untuk
mewujudkan kemaslahatan.
Dari pemaparan di atas, setalah panjang lebar membahas tentang produktifitas sebuah
penduduk, tidak menutup kemungkinan suatu negara hanya bergantung pada aset yang dia
miliki. Sebagaimana yang terjadi di beberapa negara yang ada di timur tengah. Mereka
sangat bergantung terhadap aset negara yang mereka miliki contohnya minyak dan gas.
Mereka bisa mengontrol perekenomian negara dengan bergantung terhadap pengelolaan
tambang yang gemah rimpah loh jenawi Itu. Namun hal ini tidak mungkin berjalan lama
juga, karena diperkirakan aset khususnya tambang dunia timur tengah akan kehabisan pada
tahun 2040. Maka dari itu, sejak 1 dekade ini banyak yang membenah diri terlepas dari
tambang sebagai aset negara.