FOSGAMA Mesir – Di era globalisasi ini tasawuf merupakan sesuatu yang gencar diperbincangkan oleh masyarakat secara umum, terlebih masyarakat awam. Sayangnya mereka mengartikan tasawuf dengan pendapatnya masing-masing tanpa adanya landansan, memperolehnya dari pikiran nafsu mereka sendiri, tidak pernah berguru, apalagi menjalankannya dengan benar. Memang sebagian dari mereka ada yang berguru, tapi mereka salah dalam memilih guru. Padahal esensi dasar dari tasawuf yakni menapaki jalan supaya bisa dekat kepada Allah SWT, sebab mereka salah memilih guru bukan menjadi dekat, tapi semakin jauh dan lebih jauh lagi dari Allah SWT. Karena sejatinya yang diikuti oleh mereka bukanlah jalan Allah melainkan jalannya setan.
Lantas bagaimana guru-guru itu bisa mengajarkan ilmu pada mereka, sedangkan mereka sendiri tidak punya ilmu. Ada satu kaedah ulama yang mengatakan: ” فاقد الشيء لا يعطي “(orang yang tidak mempunyai sesuatu tidak bisa memberikan sesuatu pada orang lain). Dengan kata lain, bagaimana dia mau memberi pada orang lain sedangkan dirinya sendiri tidak memiliki.
Dalam kitab “Nahwa Tasawwuf Muharrar” Al-‘Allamah syekh Muhammad Salim Abu ‘Ashi menjelaskan dengan sangat detail dan mudah untuk difahami mengenai ilmu tasawwuf, mulai dari definisi, faedah, keutamaan, dan macam-macam warna ilmu tasawuf. Selain itu, beliau juga memaparkan problematika tasawuf, yang saya rasa sangat bisa diambil manfaatnya oleh para pemula dan juga bisa menjadi rujukan bagi para pakar.
Pertama, beliau syekh Muhammad Salim Abu ‘Ashi menjelaskan tentang definisi tasawwuf. Beliau mendifinisikan bahwa tasawuf merupakan ilmu tentang tata cara mengetahui benarnya cara kita menghadap kepada Allah SWT., dan beliau juga mengartikan tasawuf dengan mengikhlaskan wujud kemanusiaan kita secara keseluruhan, baik dalam ucapan, perbuatan, maupun spiritual kita dalam beribadah kepada Allah serta berlepas diri dari sifat yang rendah, dan meninggikan martabat dengan cahaya rohani.
Beliau juga tak lupa menjelaskan tentang pentingnya berguru dan memilih guru dalam dunia tasawuf. Dalam kitab ini, beliau memberi contoh yang mungkin sangat masyhur di telinga kita dan sangat penting untuk dijadikan pedoman dalam bertasawuf yang benar. Yakni sebuah kisah dari tokoh sufi ternama yang menjadi raja dari para wali yakni Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani.
Dikisahkan pada suatu hari beliau sedang duduk di mihrabnya sembari berzikir kepada Allah dan berintrospeksi diri, seketika beliau mendengar suara tanpa wujud berkata: “wahai Abdul Qadir, berbahagialah engkau! Sungguh aku telah menggugurkan kewajiban-kewajiban agama darimu”. Lalu Syeikh Abdul Qadir merenung dan berfikir sejenak dari mana suara itu berasal, dan siapa yang berkata. Apa mungkin Allah bisa berkata demikian?. Setelah beliau merenung dan berfikir, beliau mendapatkan satu kesimpulan dalam benaknya, bahwasanya Allah tidak mungkin menggugurkan kewajiban-kewajiban agama pada salah satu daripada hambanya, sekalipun dia adalah nabi. Lalu beliau berteriak mengusir: “pergilah kau…!! sungguh aku telah mengenalmu wahai setan yang terkutuk”. Tak lama setelah itu, datang lagi suara itu untuk kedua kalinya dan berkata: “wahai Abdul Qadir…! seandainya engkau tak memahami ilmu syari’at, niscaya aku telah berhasil menyesatkan mu, maka betapa banyak para syekh sepertimu, namun mereka tak paham tentang ilmu syari’at, aku telah berhasil menjerumuskan mereka pada jurang kesesatan yang terdalam.
Dari kisah ini kita bisa mengambil ibrah (pelajaran), bahwasanya sangat banyak sekali orang-orang yang penampilannya sangat agamis berjubah dan bersorban layaknya ulama, tapi mereka salah dalam bertasawuf sebab salah dalam memilih guru, bahkan sama sekali tak pernah berguru. Imbasnya, bukan hanya pada diri mereka sendiri, tapi juga pada murid-murid mereka dari kalangan orang-orang awam yang rela berguru pada mereka dengan hanya melihat pakaian kehormatannya saja, dan tertipu dangan amaliah-amaliah mereka yang sesat dan menyesatkan. Oleh karenanya sangat penting beguru dan memilih guru yang benar dalam bertasawwuf.
Tidak ada hakikat tanpa bersyariat
Dari kisah indah syekh Abdul Qadir Al-Jailani di atas, beliau merumuskan satu penjelasan bahwasanya tidak mungkin bagi seseorang menjalankan tasawuf dengan meninggalkan syariat. Karena pada hakikatnya, keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak mungkin bisa dipisahkan dan harus selalu berjalan beriringan. Beliau merumuskan satu kaedah tasawuf yang berbunyi: “لاتحقق إلا بعد التفقه” (seseorang tidak akan mencapai hakikat (bertasawwuf) kecuali setelah dia faham betul tentang ilmu syariat). Kaedah ini senada dengan apa yang disampaikan oleh imam ahl al-madinah, Imam Malik Ra.:
“من تصوف ولم يتفقه فقد تزندق، ومن تفقه ولم يتصوف فقد تفسق، ومن جمع بينهما فقد تحقق. “
( Barang siapa bertasawuf tapi tidak bersyariat, maka dia telah menjadi zindik ( Munafik). Barang siapa yang bersyariat dan tidak bertasawuf, maka sungguh dia telah fasik. Sedangkan barang siapa yang menggabungkan keduanya, maka sungguh dia telah sampai pada hakikat tasawuf.)
Mari merenung sejenak, seandainya syekh Abdul Qadir kala itu tidak paham tentang syariat, pasti dia sudah mengikuti apa yang di katakan oleh setan, lalu menganggap dirinya sudah sampai pada tingkatan makrifat, padahal syariatnya sendiri ditinggalkan. Hal seperti ini seujung jaripun tidak masuk dalam ajaran ilmu tasawuf. Karena tasawuf (hakikat) dan syariat selamanya harus berjalan secara berdampingan, tidak boleh memilih salah satu dan membuang yang lain.
Selain itu, beliau juga menjelaskan tentang wajibnya menempuh jalan tasawuf. Menurut beliau, iman seseorang tidak bisa dikatakan sempurna kecuali dengan menjalankan ajaran tasawuf. Karena esensi dari tasawuf sendiri adalah pemastian terhadap intisari daripada ihsan di setiap sesuatu yang muncul darinya. Karena—sebagaimana telah kita ketahui—pengertian iman sendiri adalah meyakini dengan hati, mengakui dengan lisan, dan mengamalkan dengan anggota badan. Oleh karena itu tidak sempurna iman seseorang kecuali mengamalkan ketiga-tiganya.
Dalam kitabnya beliau juga menjelaskan tentang macam-macam tasawwuf. Mungkin sebagaimana yang sudah biasa kita ketahui bahwasannya tasawuf itu hanya mencangkup ilmu tentang adab-adab dan akhlak hati saja, tapi dalam kitab ini beliau menambahkan satu lagi bagian dari ilmu tasawwuf, yakni tasawuf falsafi atau filsafat (ilmu tasawwuf yang berdasar pada pemikiran atau nalar). Namun tasawwuf falsafi ini tidak dibenarkan oleh para ulama karena isinya kebanyakan mengambil dari pemikiran-pemikiran orang Yunani dan India yang secara akumulasi jauh dari nilai-nilai keislaman, serta dikarenakan nilai-nilai di dalamnya sangat jauh dari isi al-Qur’an dan as-sunnah.
Syubhat-syubhat dalam tasawwuf
Syekh Sailm dalam kitabnya juga tidak luput memaparkan syubhat-syubhat dalam tasawwuf dengan menuliskan beberapa permisalan yang dirasa umum terjadi di masyarakat. Karena syubhat perihal tasawuf sangat banyak bertebaran di masyarakat. Dalam kitab ini beliau menepis syubhat-syubhat yang bertujuan merusak kemurnian dari pada ajaran tasawwuf.
Diantaranya adalah tentang pembidahan terhadap suatu kelompok yang memiliki rutinan berdzikir bersama, atau yang lebih dikenal dengan “majelis zikir”. Beliau menjelaskan bahwasannya pelaku dari syubhat ini adalah para tokoh yang disebut mutasallifah, yaitu suatu kelompok yang mengaku-ngaku salaf, atau lebih dikenal dengan sebutan “wahabi”. Mereka mengatakan bahwasannya zikir yang dilakukan secara bersamaan itu merupakan perbuatan bidah karena tidak pernah dilakukan oleh rasulullah dan para sahabat, juga tidak pernah dicontohkan oleh ulama salaf.
Perkataan mereka merupakan kekeliruan besar, karena Al-Qur’an sendiri yang merupakan sumber hukum pertama dalam Islam telah menjelaskan tentang diperbolehkannya berzikir secara bersamaan. Firman allah yang berbunyi:
“الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم”
Artinya: “orang-orang yang mengingat allah dengan berdiri, duduk, dan berbaring”
Nas ini telah jelas menjelaskan keumuman sifat berdzikir dari pada ayat tersebut, dan tidak keluar dari keumumannya kecuali ada nas lain yang menghususkannya, baik berupa istitsna’ maupun pentakhsisan. Seperti halnya ketika maejlis zikir tersebut bersamaan dengan sesuatu yang dilarang oleh agama seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan. Yakni ketika pada satu kondisi tertentu berkumpul sesuatu yang diperbolehkan dengan sesuatu yang diharamkan, maka yang dimenangkan adalah sesuatu yang diharamkan, karena mengamalkan satu kaidah fikih yang mengatakan, “menolak kerusakan itu lebih didahulukan dari pada menarik kemaslahatan”. Dan masih banyak lagi contoh-contoh syubhat tasawwuf dalam kitab ini yang sangat sayang untuk dilewatkan.
Kesimpulan
Menurut saya kitab ini merupakan kitab yang sangat bagus, bukan tanpa alasan, tapi karena memang isinya yang menjelaskan tasawwuf secara merata. mulai dari definisi tasawwuf, siapa itu sufi?, syubhat-syubhat tasawwuf, hingga problematika-problematika tasawwuf, dan masih banyak lagi lainnya. Dan menurut saya kitab ini sangat ideal untuk dijadikan sebagai kunci cakrawala pengetahuan tentang tasawwuf bagi para pemula, mengapa demikian? Karena selain isinya yang luar biasa, kitab ini bentuknya tidak terlalu besar, sehingga bila dibaca para pemula, mereka tidak akan bosan ketika membacanya. Selain memberi manfaat yang sangat besar bagi para pemula, kitab ini juga cocok bagi para ahli. karena kitab ini oleh mereka bisa dijadikan sebagai rujukkan yang mudah ketika mereka membutuhkan dalil untuk ber-argumen dengan para ahli-ahli bid’ah yang mencoba untuk menggerus sedikit demi sedikit nilai dari pada tasawwuf sendiri. bukan karena alasan lain, sekali lagi saya tegaskan, karena memang bentuk kitab ini yang tidak terlalu besar. Adapun mengenai kevalidasian isi dari kitab ini, maka tidak ada yang perlu untuk diragukan lagi, karena penulisnya merupakan tokoh ulama yang kealimannya sangat diakui oleh Al-Azhar secara husus, dan seluruh dunia secara umum. beliau merupakan ulama yang digelari dengan sebutan “عالم موسوعي” atau “ensiklopedis” karena keilmuan beliau yang merata dalam semua fan ilmu.