FOSGAMA Mesir – Ilmu Kalam, sebagaimana disiplin ilmu-ilmu yang lainnya, sudah melewati beberapa fase yang memiliki karakteristik dan keunikannya. Dalam hal ini Dr. Hasan Mahmud Asy-Syafi’i memiliki pandangan terkait fase-fase ilmu Kalam secara kronologis. Dimulai dari fase kemunculan hingga kodifikasi dan dilanjutkan menuju fase perkembangan serta pencampurannya dengan Filsafat. Adapun fase terakhir dalam pandangan beliau yaitu fase kekosongan ilmu Kalam dan ditutup dengan fase modern.
Sekarang mari kita mulai menelusuri fase kemajuan ilmu Kalam dan pencampurannya dengan Filsafat berikut pemaparan hal-hal yang menjadi karakteristik utamanya. Fase ini termasuk fase yang terpenting di dalam sejarah ilmu Kalam, dimana aliran-aliran besar dan madrasah-madrasah ilmu Kalam mengalami kematangan dan kemapanan. Dalam hal ini Hasan Asy-Syafi’i ingin mengetengahkan secara ringkas perkembangan-perkembangan terpenting yang menyertai fase demi fase terhitung sejak sekitar sejak abad 6 H hingga era sekarang.
Berikut fenomena-fenomena paling jelas yang terjadi pada fase kejayaan dan kematangan ilmu Kalam, dimana bisa dikatakan fase ini berlangsung sejak abad 6 H hingga akhir abad 9 H.
Bisa dikatakan bahwa ilmu Kalam secara umum tunduk kepada perkembangan baru yang mencangkup materi, metodologi dan cara sistematisasi topik-topiknya dan boleh jadi juga menyangkut istilah-istilah yang ada di dalamnya. Bahkan produk ilmu Kalam yang lahir pada masa ini dikenal dengan istilah kalam mutaakhirin (ilmu Kalam ulama generasi belakangan), apabila disandingkan dengan kalam mutaqaddimin (ilmu Kalam ulama generasi terdahulu).
Berikut penjelasannya:
A. Dalam kaitanya dengan materi, ilmu Kalam telah bercampur dengan hasil intelektual para filsuf muslim dalam hal-hal teologi, studi-studi alam dan lain-lain. Hal ini dalam rangka membantah muatan pandangan-pandangan yang menyelisihi Akidah Islam, dan mendukung sikap-sikap ilmu Kalam atas beberapa pemikiran para filsuf, dan membangun metafisika ilmu Kalam. Maksudnya, merumuskan teori yang bersifat komprehensif tentang eksistensi dari perspektif Islam.
Benih-benih perkembangan ini sudah terlihat pada fase sebelumnya, namun mencapai spektrum kemajuan pada fase yang tengah kita bicarakan saat ini, terutama terlihat dalam karya-karya dua ulama Asy’ariyah: Ar-Razi dan Al-Amudi, serta ulama-ulama sesudah keduanya, dan dalam karya dua ulama Itsna ‘Asyariyah: Ath-Thusi dan Al-Hali serta ulama sesudah keduanya. Hal ini mendorong kalangan yang menganut orientasi konservatif untuk menempuh jalan metodologi yang sama, meskipun pada akhirnya bertujuan untuk mengkritik kesimpulan ulama Asy’ariyah belakangan, sebagaimana kita menjumpai didalam kitab Ibnu Taimiyah. Hal yang sama juga dilakukan oleh Adz-Dzahabi. Seandainya sarjana ilmu Kalam tidak mengambil dari nas (wahyu), maka materi ilmu Kalam tidak berbeda dari Filsafat pada fase ini.
B. Dari aspek metodologi, dijumpai bahwa Sebagian ulama Kalam berpegang pada Mantik (logika) Yunani dan menggunakan pola-pola deskripsinya (tashawwur) di samping metode-metode ilmu Kalam klasik, yang sebagian besar digali dari metodologi para ulama Fikih dan topik bahasan Ushul Fikih. Aspek perkembangan ini mulai di tangan Ibnu Hazm Azh-Zhawahiri serta Imam Al-Haramain Al-juwaini dan muridnya Al-Ghazali dari kalangan Asy’ariyah dan juga digerakan oleh kalangan Muktazilah era belakangan. Namun mencapai kematangannya di era Ar-Razi dan kalangan Asy’ariyah belakangan, dan di tangan At-Thusi dan para pengikutnya dari kalangan Itsna ‘Asyariyah. Begitu juga yang dilakukan oleh kalangan Maturidiyah belakangan.
Bandingkan juga hal itu dengan apa yang mereka lakukan dengan mengadopsi konsep daur (lingkaran sebab akibat) milik Muktazilah beserta paparan berbahaya terhadap ilmu Kalam. Sesuatu yang menyebabkan sarjana seperti Ibnu Taimiyah (Hanabilah), Ibnu Al-Wazir (Zaidiyah) dan As-Suyuthi (Asy’ariyah) memperjuangankan tranformasi metodologi ilmu Kalam sebagaimana pernah dilakukan sebelum mereka oleh Ibnu Rusyd. Namun transformasi yang sudah dilakukan justru menghanyutkan, dan sebagian besar kalangan mutakallimin (teolog) terpapar oleh dampak negatifnya hingga hari ini.
C. Tidak sebatas pada materi dan metodologi ilmu Kalam, hal ini berbuntut pada sistematisasi topik-topik pembahasannya yang tampak mengikuti sistem baru. Para ulama mutakallimin pendahulu biasanya mengawali karya kitab mereka dengan mengawali bab-bab metodologi pengantar tentang pengkajian, pengetahuan dan esensi ilmu. Namun ulama-ulama Kalam belakangan memulai memulai kitab mereka dengan bab-bab yang membahas apa yang disebut dengan al-umur al-‘amah (hal-hal umum), yaitu sebuah pembahasan yang membuat kaidah-kaidah metodologi klasik tentang pengamatan dan pengetahuan, dan pembahasan Mantik, metafisika dan Sains yang berkaitan dengan hukum-hukum yang sama-sama berlaku pada entitas-entitas niscaya (wajib al-wujud) dan entitas-entitas kontingen (mumkin al-wujud). Mereka melihat semua ini perlu untuk menyokong kajian teologi dan keagamaan mereka dalam kerangka Akidah. Barangkali Ar-Razi menjadi sosok pionir dalam pembaharuan sistematisasi penulisan buku semacam ini, sementara Al-Amudi masih mempertahankan sistem lama sembari tetap mengadopsi sistem baru. Kemudian Al-Iji dalam kitab Mawaqifnya menjadi ikon paling menonjol dalam hal ini, karena dia menguraikan al-umur al-‘ammah dalam hampir setengah lebih dari kitabnya.
D. Lumrah dan wajar bila sesudah terjadinya pencampuran antara ilmu Kalam dan Filsafat, istilah-istilah ilmu Kalam bermunculan, berkembang dan semakin kuat keterikatannya dengan Filsafat setelah sebelumnya kental dengan nuansa qur’ani dan Fikih. Perubahan ini diungkap jelas oleh Ibnu Furak tentang istilah-istilah fase sebelumnya dalam Al-Hudud Fi Al-Ushul, dan yang dimaksudkan adalah ushuluddin dan Ushul Fikih. Serta kitab Al-Amudi yang berjudul Al-Mubin Fi Ma’ani Alfazh Al-Hukama’ wa Al-Mutakallimin yang seperti diindikasikan judulnya, menggabungkan dan mencampurkan Filsafat dan ilmu Kalam.
Maka dari itu kita bisa melihat bagaimana antara ilmu Kalam dan Filsafat bisa memberikan konstribusi harmonis yang menyebabkan kemajuan dan berkembangnya ilmu Kalam. Mulai dari materi ilmu Kalam yang bercampur dengan hasil intelektual filsuf muslim, metodologi yang berpegangan dengan logika Yunani yang sudah disaring, serta kemajuan sistematisasi topik-topik pembahasan dan pencampurannya dengan Filsafat sehingga bermunculan istilah-istilah baru dalam ilmu Kalam.
Satu pemikiran pada “Fase kemajuan ilmu kalam dan pencampurannya dengan filsafat dalam perspektif DR. Hasan Mahmud Asy-Syafi’i”