I’jaz Al-Quran : Studi & Kontekstualisasi pemikiran Abu Sulaiman AlKhattabi (319-388 hijriah)

FOSGAMA Mesir

I’jaz Al-Quran : Studi & Kontekstualisasi pemikiran Abu Sulaiman AlKhattabi (319-388 hijriah)

FOSGMA Mesir – Paradigma tentang pemikiran dan diskursus Al-Quran dimulai sejak masa kepemimpinan khalifah Sayyidina Abu Bakar RA, dimana masa tersebut dikenal dengan masa kodifikasi Al-Quran. Ide tentang kodifikasi tersebut muncul dari sebuah pemikiran Sayyidina Umar bin Al-Khattab RA ketika melihat realitas kaum muslimin yang hafal Al-Quran banyak yang gugur dalam peperangan melawan kaum murtad, Romawi dan kaum kafir Quraisy lainnya.

Dari sinilah sejarawan mencatat sebuah histori kodifikasi Al-Quran. Akan tetapi pemikiran tersebut hanya berkaitan dengan pembukuan atau pengumpulan Al-Quran serta sanad riwayatnya. Sementara para cendikiawan muslim pada generasi setelahnya banyak yang membahas tentang orisinalitas teks Al-Quran itu sendiri, terutama tentang kemukjizatannya.

Diskursus tersebut terus semakin progresif, mulai dari generasi para sahabat sampai ke generasi setelahnya, sehingga pada abad ke-4 muncul seorang ilmuan muslim dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah yaitu Abu sulaiman Al-Khattabi. Dalam esai ini penulis akan membahas tentang mukjizat Al-Quran (I’jaz al-Quran) dalam sudut pandang pemikiran AlKhattabi. Sekalipun para ulama klasik banyak yang mengulas tentang ilmu Al-Quran secara teoretis-sistematis, tetapi ada juga beberapa ulama yang konsentrasi terhadap keindahan AlQuran itu sendiri, dalam hal ini dikenal dengan sebutan mukjizat Al-Quran (I’jaz al-Quran).

Pendapat dan pandangan pakar ulama tentang aspek kemukjizatan Al-Quran sangat beragam. Segolongan ulama berpendapat, bahwa mukjizat Al-Quran itu dengan keindahan retorikanya (Balagha) yang sangat indah dan berbeda dengan apa yang telah dikenal dalam perkataan orang arab sehingga keindahannya mencapai tingkat tinggi dan tidak ada bandingannya. Begitu pula banyak perspektif lainnya terkait dengan I’jaz al-Quran ini.

Al-Khattabi dan Pemikiran I’jazul Quran.

Ahli Balagah yang hadir setelah Abu Utsman al-Jahiz (w. 255 h) dan al-Rummani (w. 386 h) adalah al-Khattabi. Bernama lengkap Abu sulaiman Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim AlKhattabi Al-Busti, dari keturunan Zaid bin Al-Khattab saudara Khalifah Umar bin Al-Khattab. Kata al-Busti dinisbatkan kepada salah satu kota di Kabul (Ibu kota Afganistan). Al-khattabi dilahirkan pada rahun 319 dan wafat pada tahun 388 hijriyah (sekitar abad ke-4 H), di mana dia hidup dalam satu generasi dengan Imam Abu hasan Al-Rummani (seorang teolog dari kalangan Mu’tazilah) akan tetapi Al-Rummani lebih tua dari pada Al-Khattabi.

Al-Khattabi terlahir dari keluarga yang sederhana dan penuh pendidikan. Ia banyak belajar berbagai macam displin keilmuan kepada ulama pada masanya, salah satunya adalah Abu Ali al-Shaffar ia banyak meriwayatkan hadits, bahasa dan berbagai macam ilmu lainnya. Sehingga ia dikenal sebagai seorang ahli hadits, fikih, sastrawan dan penyair. Dari sinilah ia mulai mengkaji tentang disiplin mukjizat Al-Quran dalam persepektif keindahan bahasa dan retorika teksnya.

Berawal dari belajar dan mengkaji buku-buku ulama klasik tentang diskursus mukjizat Al-Quran, Al-Khattabi juga memberikan sumbangsih ide dari kajian tersebut, sehingga ia menulis sebuah risalah yang berjudul “Bayan I’jaz al-Qur’an”. Menurutnya, terjadinya banyak paradigma pemikiran I’jazul Quran pada masanya dan masa sebelumnya (sekitar abad ke-3 dan ke-4 yang dikenal dengan masa pengakuan sebagian para ulama terhadap Al-Quran adalah sebagai makhluk) yang masih abstrak dan menimbulkan bias ideologis, kultural dan religius. Hal ini disebabkan oleh perbedaan kultur, budaya, dan prisma berpikir dari sekte-sekte sehingga perlu adanya implikasi dari bias-bias tersebut begitupula diperlukan pemahaman yang komprehensif atas analisa I’jazul quran tersebut. Adapun kontekstualisasi pemikiran AlKhattabi akan didiskusikan sebagai berikut.

Latar belakang munculnya pemikiran Al-khattabi dalam memulai dialektika I’jazul Quran itu disebabkan ketidakpuasan terhadap pemikiran ulama sebelumnya dalam menyimpulkan esensi dan makna dari “I’jazul Quran” tersebut. Hal ini bukan berarti Al-

khattabi ingin mengulang kisah kembali paradigma abstrak, akan tetapi ia mencoba
merekonstruksi pemikiran para ulama seperti Abu Utsman al-Jahiz (w. 255 h) dalam bukunya
yang berjudul “al-Ihtijaj Li Nuzhm al-Quran” dan Abu Abdillah al-Wasathi (w. 306 h), sehingga
ia berusaha membuat sebuah pemahaman I’jazul Quran lebih konkrit dan logis.

Berikut adalah premis-premis dalam pemikiran ulama klasik terkait dengan I’jazul
Quran :

1. Sebagian ulama mengatakan bahwa mukjizat Al-Quran adalah terletak pada
Sharfah / صرفة (memalingkan haluan). Artinya tuhan berkehendak untuk
memalingkan haluan hamba-Nya supaya tidak mampu mendatangkan sebuah
kata yang lebih bagus dari pada Al-Quran, padahal mereka mempunyai
kemampuan dalam hal tersebut. Salah satu argumen yang terdapat dalam AlQuran adalah :

Katakanlah, “Sungguh, jika manusia dan jin berkumpul untuk mendatangkan yang
serupa dengan Al-Quran ini, mereka tidak akan dapat mendatangkan yang serupa
dengannya, sekalipun mereka membantu satu sama lainnya.”(Al-Isra : 88).

2. Sebagian pula mengatakan bahwa mukjizat Al-Quran terdapat pada sebuah
kabar atau informasi masa depan. Seperti ayat yang menjekaskan tentang
kekalahan bangsa Romawi Timur yang berpusat di Konstantinopel.

3. Sebagian besar ulama juga mengatakan bahwa mukjizat Al-Quran dari segi keindahan retorika atau elokunsinya (Balagha) tanpa adanya pembahasan secara detail letak keindahan tersebut.

Dalam menganalisa pemikiran Al-Khattabi, diperlukan adanya pendekatan dari sudut pandang kultur bahasa, konteks sosial dan ideologi. Sebenarnya ditinjau dari sudut pandang ideologi, Al-Quran menentang kepada seluruh manusia untuk mendatangkan sebuah ayat yang lebih indah darinya, akan tetapi tidak satupun yang bisa menadinginya. Begitupula dari sudut pandang kultur bahasa (linguistik), jenis-jenis tuturan itu beraneka ragam, juga terdapat tingkatan-tingkatan retorika (Balagha), di antaranya ada tutur kata yang al-Baligh al-Rasin al-jazl (susunan kata yang rapi dan indah), ada juga yang al-Fasih al-Qarib al-Sahl (fasih sehingga mudah dipahami) serta ada pula yang al-Jaiz al-Thalq al-Rasl (bahasa mudah dan sering digunakan).

Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa terwujudnya tutur yang bagus yaitu ketika sudah
mencakup adanya tiga unsur, yaitu kata yang mengandung makna, makna yang melekat dalam
kata itu sendiri serta susunan antara keduanya yang tersistem dengan baik. Jika al-Quran
ditelaah secara seksama, maka akan dijumpai ketiga unsur itu dalam puncak posisi kemuliaan,
sehingga tidak terlihat sedikitpun kata-kata yang lebih fasih, lebih kaya makna selain kata-kata
dalam al-Quran.

Al-Khattabi menegaskan bahwa salah satu yang menentukan esensi i’jaz al-Quran adalah
adanya al-Nuzhum (sistematika susuna kata) yang memunculkan makna-makna. Sementara itu,
kata-kata mengungkapkan makna-makna dengan kekuatan prima. Berkenaan dengan hal itu, alKhattabi mengatakan : “Ketahuilah bahwa pondasi pokok Balaghah yang membuat sifat-sifat ini
terhimpun dengan baik ialah penempatan setiap jenis kata yang terdapat dalam bagian tutur di tempat yang lebih khusus, di mana jika tempatnya digantikan oleh kata yang lain, maka kemungkinan makna akan berubah dan mengakibatkan tutur menjadi rusak, dan pada gilirannya akan melenyapkan keindahan yang terkandung di dalamnya bersama kebalagahannya.”

Hal itu terjadi dikarenakan di dalam sebuah tutur terdapat kata-kata yang berdekatan
maknanya, di mana kebanyakan orang mengira bahwa kata-kata itu sama dalam memberi
pengertian yang dimaksudkan oleh sebuah tutur. Seperti kata العلم dengan kata المعرفة, kata الحمد
dengan kata الشكر dan yang lain. Padahal persoalan dan penyusunan di dalamnya berbeda
dengan yang dimaksudkan oleh ahli bahasa, sebab setiap kata memiliki spesifikasi yang
membedakannya dari yang lain dalam sebagian maknanya, meskipun terkadang dalam
sebagian yang lain dalam koridor konteks bermakna sama.

Kesimpulan dari kontekstualisasi pemikiran al-Khattabi, Hal ini bisa diketahui dengan
menggunakan metode komparasi dari berbagai premis-premis pemikiran ulama klasik dengan
pemikiran Al-Khattabi sebagaimana yang terdapat pada esai kali ini. Al-khattabi melihat nuansa
baru dari Al-Quran yang memiliki efek besar terhadap psikologi manusia dan jin. Begitupula
Al-khattabi melakukan pendekatan stilistika dalam teks Al-Quran, yaitu pemilihan dan
penggunaan kata-kata yang berdekatan makna serta pengulangan tutur yang terdapat dalam
Al-Quran dan mengkomparasikan dengan sastra pada umumnya.

Dengan demikian, ketika dilakukan analisa terhadap teks Al-Quran yang terdapat pengaruh besar terhadap psikologis ini sebagai salah satu esensi i’jaz al-Quran yang dibentuk dari sekumpulan keunikan Balagah (retorika dan elokuensi). Inilah suatu gagasan cemerlang AlKhattabi yang berbeda dengan ulama-ulama lain, sehingga banyak ulama generasi setelahnya melakukan pendekatan terhadap I’jaz al-Quran melalui hasil pemikiran Al-Khattabi.

Baca Juga

Tags

Tinggalkan komentar