Tentang Kami

Geliat dinamika mahasiswa di Mesir—khususnya di Kairo—sudah ada jauh sebelum masa kemerdekaan, tepatnya sejak terbentuknya Jam’iyah Khairiyah al-Jawiyah pada tahun 1923 M.

Pada saat itu, belum ada batas wilayah nusantara. Semua pelajar Asean ketika itu sering dipanggil dan disebut “Bangsa Jawa”.

Mulanya hanya berbentuk sebuah perkumpulan mahasiswa serantau yang berkumpul karena keterikatan nasib di perantauan atau karena mereka sama-sama belajar di negeri orang. Tak peduli dari bumi belahan mana. Mereka disatukan dengan satu nasib dan satu tujuan sebagai penuntut ilmu di Bumi Para Nabi.

Dari sebuah perkumpulan kecil mereka berusaha untuk terus eksis dengan mengadakan kegiatan yang berorientasi asah kreativitas dan olah pikir untuk mematangkan gagasan.

Sejak kapan Madura ada di Mesir?

Penelusuran sejarah tentang Madura dan orang Madura yang pertama kali menginjakkan kaki di Negeri Seribu Menara ini menghasilkan suatu asumsi bahwa (Alm) Ghautsullah Muhammad ‘Ashim adalah pelajar Madura pertama yang mengecap manisnya pendidikan di Mesir. Pada tahun 60-an, Abi ‘Ashim (begitu beliau akrab disapa) adalah seorang pelajar yang melanjutkan studinya di Universitas Darul Ulum Kairo, jurusan Sastra Arab.

Pada masa itu, jumlah mahasiswa Indonesia di Mesir masih dalam hitungan puluhan. Abi ‘Ashim, layaknya bapak mahasiswa dengan senanghati selalu menjadi panutan dan tempat keluh-kesah para mahasiswa, bahkan Abi ‘Ashim selalu menjadi perantara bila ada urusan antara mahasiswa dan KBRI.

Lalu, setelah itu bermunculanlah nama-nama seperti; Mustafid Dahlan (menantu Abi ‘Ashim), (alm) Fudholi Zaini, (Alm) Djakfar Bushiri dan Jazuli Noer mereka mewakili generasi 70-an. kemudian di era 80-an datanglah Ghazali Sa’id (kini Pengasuh Pond-Pest An-Nur Surabaya), Hamdi Siraj, Fudholi Baz, Hasan Abrari, Maktum Jauhari, Ahmad Sarudji Erfan, M. Fauzan ar-Razi dan Musthafa Abd. Rahman datang menyemarakkan dinamika Kairo. Hingga era 80-an jumlah pelajar dan mahasiswa Madura di Mesir masih bisa dihitung jari.

Seperti jamak diketahui, Orang Madura selalu mudah dan cepat beradaptasi. Mereka bergabung dengan organisasi yang sedang eksis di Kairo. Bukan sekedar bergabung, tapi tidak sedikit dari mereka menduduki posisi strategis. Sebut saja Jazuli Noer yang sempat menorehkan tinta emas sejarah dinamika mahasiswa sebagai ketua Himpunan Pemuda Pelajar Indonesia (HPPI) tahun 1966, HPPI merupakan cikal bakal berdirinya PPMI. Begitu pula dengan (Alm) Djakfar Bushiri yang sempat menduduki kursi Sekjen BK-PPI se Timteng di era 70-an.

Bila di era 60 hingga 80 peningkatan kuantitas Pelajar Madura belum begitu terlihat, tapi di era 90-an lonjakan kuantitas mulai terasa. Ditandai dengan generasi pertama era 90-an, mereka adalah Romzi Luthfi, Marwazi Isma, Musthafa Erfan, Muhammad Fattah Syamsuddin, M. ‘Aunul ‘Abid Syah, Achmad Rifa’ie, Abd. Harits ar-Razy, Khoiru Zaman, Ainur Rafik, Zulkarnaen, Taufik Rahman, Khoirul Anam dan sebagainya. Mereka dengan serta merta ikut menyemarakkan dinamika mahasiswa Kairo.

Sebagai penerus estafeta pendahulunya mereka langsung terjun di semua lini, dari organisasi induk, afiliatif, kelompok kajian, pers hingga almamater.

Kapan FOSGAMA Lahir?

Ide awal pendiriaanya dipelopori oleh generasi muda era 90-an, mereka adalah: Ach. Rifa’ie, Abdul Haris ar-Razi, Khoiru Zaman, Musthafa Erfan serta beberapa generasi muda lainnya. Usaha ini juga disokong oleh generasi tua yang dipelopori oleh Bapak Mayor Suwarso (Home Staff Bag. Komunikasi), Bapak Burhanuddin al-Qodri dan Bapak Ahmad Sarudji Erfan.

Berawal dari ide ingin memiliki wadah yang dapat menyatukan seluruh komponen Madura, serta membantu kesejahteraan dan mengarahkan proses studi anggota, maka pada tahun 1993 wacana tentang wadah kelompok Madura mulai mengemuka.

Sebagai sebuah ide baru, tentu tanggapan warga Madura Kairo cukup beragam. Sikap tidak setuju datang dari kaum tua, bahkan hampir serempak mereka mengatakan tidak setuju pembentukan wadah mahasiswa Madura.

Mereka berpendapat bahwa Anak Madura dapat eksis dimanapun dan mereka tidak perlu mempunyai wadah khusus. Selain itu, mereka juga tak ingin anak Madura menjadi ‘katak dalam tempurung’, mereka tidak setuju dengan kotak-kotak kedaerahan dan kesukuan, apalagi sebagian besar warga Madura saat itu aktif di Kelompok Studi Wali Songo (KSW) sebagai sebuah organisasi inklusif wadah mahasiswa nusantara.

Namun, para pelopor lahirnya wadah pelajar dan Mahasiswa Madura pantang mundur. Dengan tekad bulat, mereka terus membangun opini pentingnya pembentukan wadah tersebut, para pelopor berdirinya wadah ini juga tidak menginginkan adanya kotak-kotak kedaerahan, namun mereka mengganggap penting untuk membuat forum sebagai ajang silaturahmi, membantu kesejahteraan anggota dan sukses studi.

Akhirnya, pada Hari Sabtu tanggal 15 November 1994 bertepatan dengan tanggal 2 Jumadil Akhir 1415 H, seluruh civitas Madura berkumpul di kediaman Bapak Ahmad Sarudji Erfan untuk membicarakan pembentukan wadah mahasiswa Madura.

Dalam pertemuan itu hadir pula mahasiswa yang berasal dari kepulauan, daerah tapal kuda tanah jawa hingga ada beberapa peranakan Arab atau yang biasa kita sebut dengan Hadrami.

Setelah melalui dialog yang cukup panjang, tepat pukul 20.55 waktu Kairo, Forum Studi Keluarga Madura (FOSGAMA) resmi terbentuk dengan catatan bahwa wadah ini adalah forum studi yang mempunyai dua tujuan utama, pertama: membantu kesejahteraan anggota. Kedua: membantu anggota untuk sukses studi.

Dua poin tersebut menjadi pijakan utama FOSGAMA melangkah. Ketika forum itu pula, saudara Taufik Rahman terpilih sebagai ketua FOSGAMA pertama. Pada masa awal, FOSGAMA hanyalah forum studi yang menggalakkan diskusi, kajian ilmiah dan membantu studi anggota.